Selama 20 tahun
terakhir, muncul sangat banyak riset yang menunjukkan korelasi antara kualitas
pernikahan seseorang dan kualitas parenting mereka.
Dari sudut pandang
seorang anak, rumah tangga yang paling supportif adalah rumah tangga dengan
kedua orangtua yang minim konflik pernikahan.
Dengan kata lain,
perkembangan emosi dan psikologis seorang anak berhubungan dengan intensitas
konflik antara kedua orangtua mereka. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa orangtua
mana pun akan mengalami konflik.
Nah, bagaimana
konflik ditangani akan membuat perbedaan yang sangat besar efeknya terhadap
anak.
Pengaruh konflik
pernikahan terhadap anak tidak didasarkan pertengkaran satu kali, tetapi
pertengkaran yang berlangsung dari waktu ke waktu.
Apabila pertengkaran
dapat diperbaiki dengan memuaskan dan damai, dengan kedua orangtua senang
dengan hasilnya, makan akan berdampak positif pada anak, karena hal itu menjadi
contoh bagi mereka tentang bagaimana konflik harus diselesaikan. Ini disebut
konflik yang membangun (konstruktif).
Namun, tipe-tipe
pertengkaran yang akan lebih berdampak negative pada anak adalah
pertengkaran-pertengkaran yang dibiarkan tidak selelsai dalam jangka waktu yang
lama. Tipe konflik-konflik yang terus-menerus dan agresif, dan konflik-konflik
yang salah satu orangtuanya ditaklukkan oleh yang lain. Ini disebut konflik
yang merusak (destruktif).
Sebagai orangtua,
seringkali kita cenderung meremehkan efek konflik kita dengan pasangan.
Nah, untuk
mengetahuinya apakah konflik merupakan jenis yang konstruktif atau destruktif,
berdasarkan riset ini, ditemukan bahwa tipe-tipe konflik berikut termasuk
destruktif :
# Serangan fisik, yang
melibatkan menyumpah, menghina, membanting atau menghancurkan atau mengancam
untuk memukul.
# Kemarahan Verbal, termasuk berteriak dan juga ancaman-ancaman verbal.
# Kemarahan Non-Verbal, termasuk menarik diri oleh suami/istri, misalnya : saling mendiamkan satu sama lain.
Hal ini dilaporkan berdampak negative tarhadap perilaku dan cara pikir anak, termasuk menyebabkan stress.
Bahkan penelitian menunjukkan bahwa reaksi anak terhadap konflik verbal sama dengan reaksi terhadap konflik non-verbal. Bahkan, reaksi non-verbal orangtua terhadap rasa takut menyebabkan anak lebih tertekan daripada perdebatan yang memanas.
Banyak cara pernikahan
yang buruk dapat mempengaruhi kesejahteraan anak, dan semua dimulai dari
konflik destruktif.
Dampak yang terjadi pada anak apabila orangtua mengalami konflik
destruktif :
#1. Secara langsung
mempengaruhi rasa aman anak secara emosional, yang terkait dengan rasa
keyakinan si anak terhadap kemampuan orangtua untuk menangani konflik dan
memelihara kestabilan dalam keluarga.
Pada kasus konflik
destruktif, dapat menjadi tertekan secara emosional, dan hampir selalu
menafsirkan interaksi orangtua mereka dengan negatif.
Kebutuhan emosional anak, selain anak butuh kasih dan penerimaan dari orangtua, anak harus butuh kepastian bahwa papa sayang mama dan mama sayang papa. Anak perlu melihat bahwa papa & mama saling mengasihi.
#2. Secara tidak
langsung mempengaruhi kualitas hubungan orangtua – anak. Karena orangtua yang
konflik akan mengalami depresi, yang seiring dengan waktu akan mempengaruhi
kualitas kedekatan hubungan mereka.
Sebagai contoh,
kemarahan yang tidak terselesaikan kepada pasangan akan membuat orangtua
melampiaskan kemarahannya kepada anak. Tanpa disadari, anak menjadi korban atau
sasaran.
#3. Konflik
pernikahan akan membuat orangtua kehilangan semangat, sehingga mereka punya
lebih sedikit energy untuk me-manage anak mereka dengan pengawasan yang cukup,
komunikasi yang terbuka, dan untuk menegakkan peraturan pada anak.
#4. Konflik
pernikahan juga secara negatif mempengaruhi kerja sama tim yang dibutuhkan
untuk menjadi orangtua.
Contoh : Orangtua menjadi tidak sepakat. Adakalanya anak seringkali sulit diatur karena tidak melihat ada
kesehatian dan satu hal yang sama yang dituju, lain standard, lain cara, lain
teladan, sehingga anak jadi bingung. Dan tidak punya standart juga harus
bagaimana.
Suami dan istri harus mengambil kesepakatan di dalam mengambil keputusan bagi anak dan mendisiplinkan anak. Kesepakatan = bukan sepakat dengan anak-anak, tetapi sepakat dengan pasangan kita.
#5. Saat kualitas
pernikahan kita buruk, dengan pola konflik destruktif, kita sedang menjadikan
anak-anak kita rentan untuk dipengaruhi secara negatif.
Jadi, orangtua harus
menyadari bahwa cara mereka bersikap saat terjadi sebuah konflik sangatlah
penting dan bahwa mencapai penyelesaian yang memuaskan akan sangat berpengaruh
dalam mengurangi tingkat stress anak secara umum.
Apa yang harus dilakukan ?
Saat terjadi
ketegangan antara kedua orang tua maka orangtua harus melakukan rekonsiliasi
dan pengampunan, yaitu konflik orangtua harus diselesaikan dengan baik, yaitu
dengan tulus dan sungguh-sungguh sampai level emosional, bukan hanya sampai
level rasiona.
Anak-anak harus
melihat orangtua mereka menyelesaikan masalah dengan cara yang sehat, karena
anak akan merasa terobati apabila melihat orangtua menyelesaikan konflik secara
sehat.
Tetapi jika salah
satu orangtua takluk kepada orangtua lainnya saat konflik, maka meskipun kedua
orangtua mungkin merasa bahwa konflik tersebut sudah selesai, jenis resolusi
dipaksa tunduk seperti itu akan dilihat sebagai kemenangan salah satu orangtua,
ini takkan diterima baik oleh anak-anak. Resolusi antara kedua orangtua harus
tulus dan komplit pada level emosional, bukan kemenangan mutlak untuk satu
pihak atau palsu, atau dengan salah satu orantua selalu menyerah dengan syarat
dan orangtua lainnya selalul mendapatkan keinginan merekan. Anak-anak akan mengetahui
caranya rekonsiliasi yang dangkal.
Saat hubungan
pernikahan berfungsi baik, hubungan itu memberikan dasar yang kokoh bagi anak.
Seperti jembatan yang strukturnya bagus, hubungan pernikahan yang positif
menyokong fungsi optimum anak dalam konteks kondisi-kondisi yang punya potensi
berbahaya, mendorong anak untuk mengeksplorasi, dan kepercayaan diri dalam berhubungan dengan orang lain.
No comments:
Post a Comment