Beberapa
waktu yang lalu banyak media ramai membicarakan tentang terjadinya peristiwa
bunuh diri dari seorang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Banyak
pakar Psikologi yang mencoba menganalisa penyebab dari peristiwa yang
menghebohkan ini. Pengaruh media
televisi, ingin menarik perhatian orangtua, perasaan malu, …. dan yang utama
adalah karena ketidakmampuan menangani stres yang yang mereka simpulkan.
Apakah stres hanya terjadi pada orang
dewasa?
Selama
ini, mungkin kita berpikir bahwa stres
hanya mungkin dialami
oleh orang dewasa yang memiliki tingkat kesulitan hidup yang
lebih kompleks.
Ternyata
tidak hanya orang dewasa saja yang bisa mengalami stres, anak-anak pun bisa
mengalami gangguan ini.
Ada beberapa
berita terkini, sebagai berikut :
-
Survey terbaru iVillage menemukan bahwa hampir 90% ibu
menganggap anak-anak sekarang jauh lebih stres dibandingkan mereka dulu.
-
Penelitian menemukan
bahwa antara 8 dan 10 persen anak-anak Amerika mengalami kesulitan dan
gejala-gejala serius akibat stres.
-
University of Rochester Medical Center meneliti selama 3 tahun terhadap anak usia 5 – 10 tahun
menemukan bahwa anak-anak yang berada di bawah tekanan dengan orangtua dan
keluarganya lebih sering sakit yang disertai demam dibandingkan anak-anak lain.
Pertanyaan yang penting adalah : apakah stres merangsang anak
atau justru melumpuhkan?
Untuk mengetahui jawabannya, orangtua perlu mengetahui
bagaimana anak kita menghadapi stres yang normal dan tanda fisik apa yang diperlihatkan
anak ketika kewalahan.
Jika pada tingkat tersebut stres berpengaruh sangat negatif,
orangtua harus turun tangan demi kesehatan fisik dan psikologis anak.
Jika stres dibiarkan dan tidak diatasi dengan baik, maka
dapat menyebabkan penyakit secara fisik, emosi maupun mental. Stres yang kronis
juga merusak sistem imun, menjadikan anak mudah terjangkit pilek dan demam,
asma, diabetes dan penyakit lainnya.
Nah, bagaimana kita
sebagai orang tua dapat mengetahui gejala stres pada anak? Apa saja penyebab stres pada anak?
TANDA-TANDA & GEJALA
Seorang anak yang stres dapat diidentifikasi dengan
memperhatikan tingkah lakunya dan reaksi emosional. Setiap anak merespons dengan berbeda, tetapi
kuncinya adalah mengidentifikasi tanda perilaku fisik atau emosional anak
sebelum dia kewalahan. Caranya adalah mencari yang bukan perilaku normal anak.
Tanda Stres Fisik :
- Sakit kepala, sakit leher, sakit punggung
- Mual, diare, sembelit, sakit perut, muntah
- Tangan gemetar, berkeringat dingin, merasa bergetar,
melayang
- Mengompol
- Sulit tidur, mimpi buruk
- Selera makan berubah
- Gagap
- Kelelahan, sering pilek
Tanda Stres Emosional dan Perilaku :
- Ketakutan, cemas, gelisah
- Sulit konsentrasi, sering melamun
- Kurang istirahat, mudah marah
- Menarik diri dari lingkungan sosial, tidak mau
berpartisipasi di sekolah atau dalam kegiatan keluarga
- Murung, merajuk, menggigit atau tidak mampu
mengendalikan emosi
- Menggigit-gigit kuku, menggulung-gulung rambut,
mengisap jempol, mengepal-ngepalkan tangan, mengetuk-ngetukkan kaki.
- Sikap dibuat-buat, kemarahan, perilaku agresif
seperti mengamuk, tidak menuruti
- Kemunduran atau berperilaku seperti bayi
- Merengek atau menangis berkepanjangan
- Lengket, semakin bergantung, menarik diri, tidak mau
jauh dari orangtua
PENYEBAB STRES PADA ANAK
Stres pada anak dapat terjadi pada berbagai usia, bahkan
sejak usia dini, sejak dalam kandungan. Bila ibu yang mengandung mengalami
stres, janin yang ada dalam kandungan juga akan merasakannya. Detak jantung
janin menjadi tidak teratur, sehingga persediaan oksigen dan sari makanan
berkurang. Seiring pertambahan usia, maka ada berbagai penyebab dapat memicu
stres pada anak, antara lain :
- Sekolah : nilai, PR, penekanan berlebihan pada
prestasi.
- Kelebihan beban : terlalu banyak kegiatan setelah
sekolah hingga tidak ada waktu untuk santai, jadwalnya terlalu padat.
- Kejadian di dunia nyata : berita yang menakutkan atau
peristiwa yang terjadi di dunia.
- Trauma : kebakaran, banjir, bencana alam, peperangan,
kecelakaan, pelecehan seksual, perceraian, kematian orangtua.
- Masalah anak sebaya : tekanan anak sebaya, bullying,
penolakan, perbedaan rasial.
- Penampilan : sangat peduli dengan pakaian, berat
badan penampilan, kecocokan dengan anak lain.
- Pengharapan tidak realistis : terlalu tertekan,
standar terlalu tinggi dalam hal kemampuan, tuntutan terlalu tinggi.
- Lingkungan keluarga : pola asuh orangtua,
pertengkaran orangtua, persaingan antar saudara, orangtua menikah
lagi, keluarga sakit, kepindahan,
hambatan finansial, orangtua stres.
- Lain-lain : penyakit, anak di-opname atau dioperasi, anak harus bekerja di usia muda.
MENCEGAH
LEBIH BAIK DARIPADA MENGOBATI
Apakah
orangtua perlu menunggu anak mengalami stres baru kemudian turun tangan?
Sebaiknya
orangtua melakukan tindakan PREVENTIF atau pencegahan dengan membangun sikap
yang kondusif di dalam keluarga.
Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?
Nah, beberapa
sikap orangtua yang dapat membangun benteng melawan stres pada anak antara lain :
1.
Memberi
kasih sayang yang adil pada setiap anak dan menyediakan lingkungan yang aman
dan damai.
2.
Peka
dan responsif akan kebutuhan anak.
3.
Bersikap
hangat, tegas dan respek terhadap anak.
4.
Mampu
berempati dan menerima anak apa adanya, dan fokus pada kelebihan anak.
5.
Memberi
kesempatan pada anak untuk mengungkapkan perasaannya.
6.
Memberi
dorongan pada anak untuk melakukan sesuatu, kemudian beri pujian atau penghargaan
atas keberhasilannya.
7.
Sikap
ayah dan ibu sejalan atau kompak mengasuh anak.
8.
Mengambil
waktu bermain, makan bersama dan rekreasi yang cukup dengan anak.
Sebagai orangtua,
kita bertanggung jawab untuk
kesehatan setiap anak yang Allah titipkan, termasuk kesehatan mental mereka.
(Salah satu sumber : The Big Book of Parenting Solution)
No comments:
Post a Comment